Tuesday, February 15, 2011

“Nordik in Jazzy”

Oleh: Akbar Wicaksono
(Alumi Alhuda)

 - buat N

─ seperti gerinjam, kau masuki lubang telingamu sendiri, sembunyi, dan diam. Masih ingat kita bercakap, bernyanyi iringi gerinting yang marah, karena gerimis tak hendak turun untuk menancapkan rinai gaibnya. Masih ingat kita saat memandang beratus-ratus batang eucalyptus, meranggas serta melepaskan jerit sakitnya di atas pelipis kita, atau yang bernama sunyi, begitu rahasia. Kita tidak pernah benar-benar mendengar sunyi menggeros.

            : Kutancapkan sejumput senyum diberanda, kelak ia bermimpi memandikan bulir-bulir cahaya matahari yang melengkungkan bayang wajahmu. Kulihat letih begitu perih mengusap-usap wajahmu, tanpa berucap senyummu menjelma gema.

“Aku tidak apa…”

Bayangmu makin lindap oleh kelam yang merapat. Aku terperanjat hingga gurat tanyaku menanggalkan senyum-senyum yang terbujuk jejak-jejak musim gugur. Kau memandangku dengan senyum bersilang (wahai, dusta demikian tersesat pada matanya, mata itu makin risau bukan oleh roman-roman yang terombang-ambing perasaan syahdu, atau cinta yang digerak rindu. Darahlah yang selama ini berkhianat, darahlah yang selama ini berenang sambil menggoreskan perih.)

“merapatlah, agar tak ada ruang bagi kelam di tengah-tengah kita.” Katamu.

“kenapa cinta bergerak bagai kabut? Kita…”

Ia mengalunkan bisikan lembut dan memasukkannya ke dalam gendang telingaku. Bisikan itu meriap menuntun karotis dan berdiam diantara leher dan kepalaku.

“ucapkan seperti ini : mengapa cinta yang Kita miliki demikian bahagia?”

“…tidak bisa! Kelopak-kelopak bunga, bayang-bayang cahaya meski makin purba tetap memegang rahasia, meski gaib tetap punya bentuk dan bentuk itu menyusun labirin berpuncak-puncak.” Aku beringsut membiarkan serpihan gerimis menajamkan bulir-bulirnya. “Hendak Kau laknat alamatkan kemana…”

“diam saja senyum itu di pintu. Mungkin selendang bianglala hendak mendo(s)akan beberapa patah kata yang basah-membiru, Kita telah lama berkemas, merengkuh sayang pada tubuh kita yang berkaca-kaca.”

Ia mengirimkan air matanya dan jemariku mengkristal terjebak celah kebekuan. Kita berenang bersama cinta yang payah, serbuk-serbuk gerimis semakin mengepalkan bulir-bulirnya hingga hilanglah jejak-jejak yang Kita tinggalkan, meluruh dan mengekal di dalam rahasia perut bumi.

Kini, sekuntum lily melentik memancarkan gelisah, wajahmu seusang kanfas tertinggal waktu. Kwas ditanganku hanya mengabarkan dongengan. Meski saling menyapa, mengibarkan senyum-senyum dalam nafsu kita yang risau, darah tetaplah Darah.

Di luar sana, hanya menunggu waktu untuk menunggu beranda yang pernah kita singgahi berdua menjadi ramai, menjadi semacam mimpi buruk. Kiranya – lentik jariMu, bisik bibirMu, lengkung kerudungMu, hanya menjadi pijar sebuah biografi yang memenuhi dimensi kertas.

…..

Aku menyusuri langkah waktu, berselang La belle dame sans regrets tumpah memenuhi kisah-kisah Nordik yang Kau suguhkan malam tadi. Bayangmu sendiri mengharap ketukan di balik pintu, memimpikan senja yang dulu pernah kita singgahi. Kau menjilat diriku dengan bulat matamu dan ucapmu.

“Lebih baik Kita do(s)akan –“



                                                                                      Awiligar, 2009    

0 comments:

Post a Comment