Oleh: Akbar Wicaksono
(Alumni MA.Al-Huda)
Siapakah ia? ── kemudian hinggap di ranting cuaca untuk membaca, mana yang hendak ia sapa. namun tak juga betah. Sebab cinta menyambangi tak sama, siapakah ia? Yang berkelebat malam hari, sejenak ia jubahi tubuhnya dengan bulu-bulu ringan anak burung yang baru saja belajar terbang. Namun tak urung, ia tidak bisa menahan lebih lama anak burung mengudara. Ah, siapakah ia? Sesekali ia meliuk hendak menampar-nampar daunan. Tertampar juga daunan hingga mengeluh bergemerisik, membisiki keluh pada telur burung. Kau lihat? Ya, ia memang tak terlihat. Sebagaimana gaib yang saling gisik bersama kita, namun tetap tak terlihat, ia pun demikian. Menyentuh-nyentuh fisik kita, merambati badan kasar, dan bulu-bulu lembut kita tiap hari, ia pun demikian. Demikianlah…
Masih juga kita rasakan, tentang ia, tentang pikuknya. Yang mencari-cari, hendak hinggap dimana ia? Tak juga kita tahu. Kita tahu karena kita merasakan. Tak perlulah kita mencari-cari yang tidak terlihat, karena ia memang tidak ingin terlihat, dan memang sama sekali tidak bisa terlihat meski ia ingin. Siapakah ia? Kita cukup tahu, kita cukup dekat, dan kita cukup kenal dengannya. Namun kita urung karena memang tak perlu untuk mengenalnya lebih jauh. Ia serupa guru bagi layang-layang, ia serupa nahkoda bagi setiap layar perahu, ia serupa malaikat bagi anak burung yang baru belajar terbang. Masihkah tidak tahu!? Ssst… sudah! Sebaiknya kita urungkan niat untuk mengikuti jejaknya. Kenapa? Karena memang tak ada jejak yang ia tinggalkan. Jejaknya telah lama terhapus diseputaran waktu yang begitu purba. Namun terkadang ia suka iseng meninggalkan jejaknya disela-sela daunan, atau kalau ia mau, ia akan meninggalkan jejaknya diantara gulungan debu-debu yang ia terbangkan. Ah, yang jelas, sulit sekali untuk menemukan jejaknya.
Siapakah ia? Tetap saja gaib. Ia hanya digambarkan oleh kata-kata manusia. Dan serupa kata-kata, yang langsung hilang tertelan ──
Namun aku tetap mempertanyakan ia. Dimana ia lahir? dimana ia dibesarkan? Aku tetap bertanya-tanya. Kenapa ia tak punya ujud. Katanya, ketidakujudannya itulah sosok ujudnya. Masih menarik nafas? Sama. Entah sudah keberapa kali aku menarik nafas!? Tapi, ini semakin menarik bukan? Tentang ia yang tak bisa digambarkan. Beri ijin aku untuk mengucapkannya lagi. Siapakah ia?
Satu ingatan yang terangkat dari papan puzzle. Saat malam menyuruh siang untuk segera masuk ke dalam rumah. Segera angkat tubuhmu itu. kelak akan kubuatkan kopi bercampur kream dengan panas yang tersisa dari matahari. Akan kubuatkan cerita tentangmu, karena itu, lekas angkat tubuhmu. Berkemaslah untuk masuk ke dalam rumah. Siang tak membantah. Siang hanya munut mengikuti Perintah. Tapi ia ada disana, mengikuti jejak waktu, mengikuti jejak manusia. Begitu setia. Aku mengejarnya, sambil kupancingi ia dengan layang-layang. Aku berharap ia mendekatiku. Namun sayang. Ia segera berangkat menuju malam yang tengah menenun temali kelam. Aku bertanya-tanya. Kenapa kita harus berselimut di dalam malam? Padahal, kalau saja malam tak ada, maka sudah bisa kujumpai ia. Ibuku hanya tersenyum mendengar ocehanku. Beliau bilang matahari mempunyai dendam yang mulai berkurang, itu sebabnya kita harus mengikuti selimut malam. Kuterima juga cerita tak masuk akal itu.
Ia. Siapakah ia?
Tidak juga menyahut, atau barangkali tak ada yang berminat untuk mengetahuinya. Hanya aku yang berminat mengetahuinya. Kudiamkan diriku tergenang di kaca jendela kamarku. Tiba-tiba daunan diluar kamarku bergemerisik mengikuti sayup-sayup suara, dan bel yang aku pasangi di teras rumahku berdenting berulangkali Nah, barangkali itu tandanya. Ya, jejaknya yang langka. Ternyata siang dan malam sama saja baginya… aku pun menarik diriku yang tergenang di kaca jendela. Sudah kubulatkan, akan kutemui ia. Tidak kuhiraukan sahutan ibuku. Siapakah ia? Tidak juga kuhiraukan daunan yang gugur karena harus terantuk kepalaku. Satu-satunya yang aku pedulikan hanya satu, ia, siapakah ia? Sudah! Jangan ganggu aku yang sedang menyeberangi sungai kecil. Biarkan aku menerobos hutan ekaliptus yang sudah lama tak menyemai semi. Tidak kuhiraukan semuanya, karena satu tujuanku. Yaitu ia, ia… dan ia yang telah lama menggulung ombak begitu rapi, persis kue gulung buatan ibuku. Ia yang telah mengangkat ribuan ekor gunting ke udara. Ia, ups…
Tenunan malam mulai seleasi. Aku telah sampai dipadang rumput hijau yang luas. Nafasku terengah, mataku berkunang. Dengarlah sayup itu. sayup yang membuatku penasaran akan dirinya.
Harum bunga rumput, tanah yang terlindung kabut, dan ia yang begitu bersayup. Seperti yang aku bilang, ia tak berujud namun masih tetap bisa aku rasakan dirinya yang berputar mengelilingi diriku. Membentuk spiral. Aku masih merasakan saat ia meliuk ke atas kepalaku untuk menerbangakan rambutku yang rontok. Aku memejamkan mataku, berusaha membuat tubuhku lebih dekat dengannya. Bahkan, kalau bisa aku ingin memeluknya sekali saja. Mendadak simfoni ini terhenti ── membuka mata dan bertanya-tanya. Ada apa gerangan? Kemana tariannya? Tidak! Kemudian kuarahkan pandanganku ke atas langit. Kulihat riak ribuan bintang menyergap mataku. Apa malam telah selesai menenun? Atau bulan begitu cemburunya terhadapnya hingga ia tak berkenan untuk bermain lagi.
Sayup-sayup, kudengar teriakan ibuku. Masuklah anakda! Masuklah ke dalam rumah. Tak tahukah kau, angin di malam hari itu perangainya sedang sangat buruk. Segera masuk! Pakai syalmu. Ah, ibuku yang baik. Yang terlalu baik. Aku tersenyum dikedalaman malam yang masih sabar menenun temali kelam. Tapi, aku terus bertanya. Siapakah ia? Cukup sekali saja…
Siapakah ia ? ─
Lapangkabut, Nop 2009