Sunday, January 16, 2011

Sinopsis Novel Setitik Kabut Selaksa Cinta

Oleh: Novi Rakhmawati 
(Himpunan Mahasiswa Al-Huda)
Novel ini, menceritakan tentang kisah hidup Larasati, seorang putri camat bernama Raden Tjokrowardoyo. Keluarga Larasati adalah keluarga yang cukup terpandang, karena selain kaya, mereka pun merupakan golongan bangsawan yang secara lansung memiliki garis keturunan dengan Amangkurat I. Oleh karena itu tidak heran jika sejak kecil Larasati dididik dengan adat istiadat dan tata krama
Jawa yang sangat kental. Sekalipun demikian romo dan ibunya bukanlah tipe keluarga Jawa yang ortodok, sehingga Larasati diizinkan untuk kuliah bahkan didorong untuk kuliah hingga doktoral.
Larasati sangat asing dengan urusan-urusan rumah tangga, hal ini karena sejak kecil Larasati terbiasa dilayani. Ada mbok Yem yang mengurus segala keperluaannya, juga supir yang siap mengantarkan dia kemana-mana. Setiap hari  Larasati hanya belajar dan membaca, sehingga tidak heran Larasati tumbuh sebagai gadis yang cerdas.
Setelah dewasa Larasati bekerja disebuah LSM FCC (Family Crisis Centre). Sebuah LSM yang gencar menyuarakan pembelaan terhadap perempuan. Di LSM itulah Larasati mengunyah teori-teori tentang bias gendar, tentang teori patriaki dan bergaining politik, di tempat itu pula Larasati mengukuhkan pendiriaannya untuk membenci lembaga yang disebut pernikahan. Di mata Larasati pernikahan hanyalah sebuah neraka bagi perempuan, yang hanya membelenggu dan melucuti hak-hak kebebasannya, seperti yang dilakukan ayahnya pada ibunya.
Sampai akhirnya Larasati bertemu dengan Ustadzah Mutmainah dalam sebuah kajian muslimah, dari Ustadzah itulah Larasati mendapatkan kebenaran, kelurusan hidup dan pandangan yang berbeda tentang sebuah keluarga. Larasati dikenalkan betapa dihargainya seorang perempuan dalam Islam. Disamakan hak-haknya dengan laki-laki dan hanya dibedakan atas dasar ketaqwaannya. Ustadzah Mutmainah sebetulnya menyarankan Larasati untuk berhenti dari FCC, karena dipandang kurang baik bagi Larasati terutama terhadap niatnya untuk mengenal Islam secara kaffah, akan tetapi Larasati masih merasa sayang. Akhirnya Ustadzah menyarankan Larasati untuk segera menikah.
Melalui pelantara Ustadzah Mutmainah dan suaminya yaitu Ustadz Mansyur, Larasati berkenalan dengan seorang insiyur elektro yang juga aktivis da’wah, Hananto Bayu Pramudio namanya.
Tak lama setelah perkenalan itu Bayu dan Larasati akhirnya memutuskan untuk menikah. Larasati sangat bersemangat dan berharap pernikahannya dengan Bayu nanti akan membawa beribu kebaikan baginya. Akan tetapi masalah mulai muncul, ayah Larasati bersikeras ingin melakukan pernikahan memakai adat Jawa dengan ritual-ritual yang disebut pangabekti, upacara tersebut berupa siraman, cucuk lampah, patah sakembaran, midodaremi, balangan suruh dan lain-lain. Ayah Larasati pun mendatangkan paranormal untuk melakukan sesajen dihari pernikahan Larasati.
Larasati meminta agar dihari pernikahannya dilakukan dengan cara Islami tanpa upacara pangabekti, tapi dia tidak berdaya karena titah ayahnya tidak pernah sama sekali disa dibantah. Akhirnya dalam kebingungan Larasati meminta bantuan kakaknya Wibi agar terhindar dari upacara-upacara yang mengandung syirik tersebut. Wibi mengusulkan agar akad nikahnya dilakukan di Masjid saja setelah itu biarlah Wibi dan Bayu nanti yang akan mengaturnya.
Akah nikahpun terjadi, Larasati akhirnya telah resmi menjadi istri Bayu. Larasati begitu resah menebak-nebak sebenarnya rencana apa yang dibuat kakak nya bersama Bayu untuk menghindari upacara pangabekti. Dalam keresahannya itu tiba-tiba Larasati menerima secarik kertas yang berasal dari kakak nya. Di dalamnya tertulis bahwa Larasati harus segera keluar dari Masjid tempat akad nikah berlangsung. Tanpa fikir panjang Larasati meminta izin dan segera pergi ke luar. Ternyata di luar telah menunggu Bayu dengan vespanya. Bayu segera mengajak Larasati naik, Larasati hanya mengangguk dan merekapun pergi meninggalkan tempat itu.
Mengetahui kepergian Larasati, Ayahnya sangat murka, apalagi setelah mengetahui bahwa Wibi membantunya. Akhirnya Wibi pun di usir oleh ayahnya.
Bayu membawa Larasati kesebuah tempat, di sana terdapat sebuah rumah  yang memang telah disiapkan Bayu untuk pernikahannya. Ukurannya sangat mungil berbeda sekali dengan rumah Larasati dulu, tapi Larasati dapat menerima kesederhanaan itu.
Di awal-awal pernikahannya Larasati sangat kebingungan harus mengurus urusan rumah tangga sendiri. Terkadang Larasati membuat bolong baju-baju yang disetrikanya, nasi goreng yang terlalu banyak minyak gorengnya segingga lebih menyerupai sayur, atau masakan-masakan lainnya yang tak pernah jelas rasanya. Maklum, karena sebelumnya Larasati memang terbiasa dilayani. Untunglah Bayu begitu perhatian dan tidak pernah mengeluhkan semuanya dan beruntung juga Larasati mempunyai ibu mertua yang baik hati, yang mau meluangkan waktu mengajari Larasati cara mengurus rumah tangga, termasuk memasak, sehingga setelah beberapa waktu masakan Larasati akhirnya layak disebut makanan.
Beberapa waktu setelah pernikahannya Larasati dan Bayu memutuskan untuk mengunjugi ayah dan ibu Larasati, mereka berniat meminta maaf. Akan tetapi hanya pengusiran yang didapatnya, ayahnya masih murka, bahkan Laras tidak diperbolehkan bertemu dengan ibunya. Larasati pun pulang dengan penuh kepedihan, sementara Bayu tetap berusaha menguatkan istrinya. Tidak berapa lama selepas kejadian tersebut Larasatipun hamil, kesedihannya terhadap kemurkaan ayahnya sedikit terobati dengan buah cintanya yang akan segera hadir mengisi hari-harinya.
Sembilan berlalu Larasati akhirnya melahirkan seorang anak perempuan yang cantik, dan semakin lengkaplah kebahagian Larasati dan Bayu. Larasati berniat mengabari orang tuanya, Larasati menelpon rumahnya, dan tetap saja sebuah penolakan keras yang diterimanya.
Tiga tahun berlalu, kehidupan Larasati dan Bayu sedah lebih baik, mereka mempunyai rumah yang jauh lebih besar, juga sebuah mobil kijang yang biasa di pakai Bayu untuk bekerja dan mendatangi jamaah-jamaah pengajiannya. Anak mereka ada empat, Fatimah, Riffat, Rozan dan Rahma.
Semakin hari, Bayu semakin sibuk dengan pekerjaan dan aktivitas da’wahnya, sementata Laras semakin tenggelam dalam kesibukannya mengurus rumah dan anak-anak. Mereka semakin jarang berkomunikasi, terkadang jika ada di rumah Bayu hanya sibuk sendiri atau tidur karena lelah dengan rutinitas di luar yang dijalaninya, belum lagi kalau ada panggilan mengaji di luar kota. Maka semakin sempitlah ruang untuk mereka berkomunikasi.
Larasati merasa ada yang berubah, hasrat keperempuannya untuk di manjakan, diperhatikan, diberi kejutan atau pun berbincang dengan kata-kata manis semakin jarang didapatkan. Larasati tidak berani mengkomunikasikannya pada Bayu, karena baginya inilah pengorbanan seorang istri aktivis da’wah seperti Bayu, Selain itu kebutuhan intelektualitasnya kembali memanggil, Larasati ingin menjadi pribadi yang mampu berkembang dan memiliki peran, bukan hanya di rumah tangganya. Tapi lebih luas di dunia yang sempat ditinggalkannya ketika putra keduanya lahir. Larasati ingin bekerja.
Dengan hati-hati Larasati meminta izin pada Bayu. Akan tetapi Bayu menanggapinya dingin. Bayu bimbang mengizinkan Larasati kembali bekerja. Bayu ingin Larasati tetap berada di rumah mengantarkannya pergi bekerja dan menjemputnya ketika pulang, mengurusi anak-anaknya dan rumah tangganya. Bayu tak ingin perhatian dan waktu Larasati menjadi terbagi.
Dalam kebimbangannya Bayu berkonsultasi dengan Ustadz Mansyur, dan Ustadz Mansyur meyakinkan Bayu bawa Larasati adalah muslimah yang baik, yang pasti mampu membagi waktunya untuk pekerjaan juga keluarganya. Bayu masih saja bersikeras mempertahankan keinginannya, sampai akhirnya Ustadz Mansyur menanyakan hal yang membuat Bayu tersadar, yaitu “Sudahkah engkau menanyakan pada Larasati tentang keinginan-keinginannya?” Hal yang sama sekali belum pernah dilakukan Bayu.
Setelah meminta nasihat dari Ustad Mansyur, beberapa waktu kemudian, tepat dihari pernikahan mereka yang ke-6, Bayu mengajak Larasati berlibur ke Anyer, berdua tanpa anak-anak. Larasati merasa sangat bahagia karena telah lama Bayu tidak pernah melakukan hal-hal yang membuatnya dan hasrat keperempuannya diakui. Larasati merasa ada yang berubah dengan Bayu.
Mereka menginap disebuah cottage di pinggir pantai, menghabiskan malam dengan saling berbagi cinta. Keesokan harinya Bayu mengajak Larasati untuk saling membuka diri, mengkomunikasikan segala hal yang selama 6 tahun mengendap di relung hati paling dalam, yang tak pernah berani diungkapkan. Tentang keinginan-keinginan  dicintai, dimengerti, dipercayai, juga tentang keinginan Larasati untuk kembali bekerja. Akhirnya merekapun dapat kembali mengeratkan genggaman, memaksimalkan komunikasi karena hanya itulah yang dapat menguatkan biduk cinta mereka dari sekian banyak riak-riak kehidupan.