Sunday, January 16, 2011

Analisa Unsur Intrinsik Novel Setitik Kabut Selaksa Cinta

Oleh: Novi Rakhmawati
(Himpunan Mahasiswa Al-Huda)
A. Tema
Novel ini memiliki tema tentang cinta. Tetapi pada suatu tingkatan yang berbeda, yaitu cinta antara dua insan yang dipertemukan dalam sebuah pernikahan. Cinta  yang mempertemukan dua karakter, dua jiwa dan dua pikiran yang berbeda. Larasati dengan latar belakang pemberontakan terhadap keluarga Jawa yang patriarkis, menjadi seorang muslimah. Sementara Bayu dengan latar belakang pendidikan eksakta juga keluarga polisi yang membuat karakternya begitu kaku. Perbedaan inilah yang coba mereka satukan atas dasar cinta. Perbedaan ini pulalah yang nantinya menimbulkan konflik-konflik batin antara mereka. Akan tetapi cinta pulalah yang pada akhirnya dapat menyelesaikan segala konflik yang terjadi.
Jika dihubungkan dengan judul novel yaitu “setitik kabut  selaksa cinta”, maka melalui pemberian judul ini penulis ingin memberikan sebuah gambaran bahwa dalam setiap kehidupan, dalam setiap hubungan manusia, terlebih hubungan suami istri, akan banyak sekali konflik ataupun lintasan-lintasan hati yang muncul dikarenakan karakter yang berbeda. Ketika seorang suami mengharapkan pelayanan, ketaatan, serta kesetiaan ideal seorang istri, sedangkan istri mengharapkan kepemimpinan, tanggung jawab, serta perhatian ideal seorang suami, tetapi kesemuanya berbenturan dengan realitas kehidupan yang ada, maka gelombang akan mulai mengoncang bahtera pernikahan. banyak yang kalah, banyak yang menyerah dan tak mampu menahan kerasnya gelombang kehidupan.
Pada saat inilah, penulis menggambarkan bahwa cinta yang kuat adalah salah satu solusi. Cinta dapat mendekatkan idealisme dengan realitas, cinta dapat menyatukan perbedaan. Cinta memungkinkan maksimalitas komunikasi, cinta mengajarkan memahami, cinta mengantarkan apa yang kita cintai untuk berkembang melebihi batas kemampuannya.
Maka ketika cinta itu kokoh, gelombang sepertia apapun takkan mampu membuatnya goyah. Gelombang sebanyak apapun ternyata hanyalah setitik kabut yang akan teratasi dengan selaksa cinta yang ada.

B. Penokohan
Di dalam novel setitik kabut selaksa cinta terdapat beberapa tokoh diantaranya:
1. Larasati
        Larasati adalah seorang yang cerdas dan berpendidikan, hal ini dapat dibuktikan dari dialog Bayu dengan ustadz Mansyur yaitu “Larasati wanita yang berpendidikan tinggi, cerdas, dan memiliki kompetensi yang luar biasa dibidangnya.” Larasati selalu ingin mengembangkan dirinya, hal ini dapat dilihat dari dialognya “Bunda ingin bekerja, bertemu dengan orang-orang yang memiliki minat yang sama, berdiskusi, menulis dan seminar lagi.”
        Larasati sangat menghormati dan mencintai orang tuanya. Dalam potongan novel tersebut dikatakan “Larasati meraih telapak tangan romonya dan menciumnya dengan penuh hormat dan kasih sayang.” Pada potongan lain disebutkan “Laras terisak. Perlahan diraihnya jemari ibunya di ciumnya dengan sepenuh hati, sepenuh jiwa, sepenuh cinta.”
        Larasati juga merupakan istri yang sholehah dan seorang ibu yang baik. Hal ini dapat terlihat dari potongan novel “Bayu tercenung, bayangan Laras berkelebat dengan kerudungnya yang tawaduk dengan rekah senyumnya seumpama Wijaya Kusuma. Pada kasih yang paling sayangnya pada anak-anak. Pada kreasinya menciptakan syurga bagi dirinya dan anak-anaknya. Larasati adalah istri tak tertandingi. Larasati adalah ibu hamper tanpa cacat”. Selain itu dari kilasan cerita novel tersebut kesholehannya dapat pula tercermin ketika dia menolak upacara-upacara yang berbau syirik, sikapnya yang sangat peduli kepada orang lain, juga dukungannya terhadap da’wah suaminya.
        Larasati adalah model istri seperti Aisyah, yang romantis, manja dan kekanakan. Hal ini dasampaikan penulis pada penggalan novel “Larasati tidak begitu setuju. Ia tipe Aisyah yang romantis, manja dan kekanakan. Ia sangat cinta pada dakwah tetapi ia masih ingin suaminya tahu bahwa ada sisi kekanakan pada dirinya yang ingin dimanja, dibelai.”
        Larasati sangat mencintai Bayu, hal ini dapat dibuktikan ketika Bayu membawanya ke rumah mungil sederhana yang jauh sekali dari rumah Larasati sebelumnya yang besar dan serba mewah tapi Larasati menerimanya, menerima bayu dengan segala kesederhanaannya. Selain itu usahanya untuk senantiasa menjadi istri dan ibu yang baik menandakan betapa Larasati sangat mencintai Bayu.
        Larasati awalnya penentang keras patriaki dan penentang pernikahan, dalam potongan novel disebutkan “Hubungan kedua orang tuannya yang sangat patriakat juga membuat ia sepakat dengan anggota FCC lainnya, membenci perkawinan dan berusaha selalu mengungguli laki-laki.”
2. Bayu
        Bayu adalah sosok laki-laki yang gagah, kukuh, dengan tatapan mata yang teduh. Hal ini digambarkan penulis lewat potongan novel “Disana didapatinya serat wajah kukuh berwarna coklat tembaga dengan kacamata minus yang nyaris menenggelamkan alis matanya yang tebal dan tatapan teduhnya.”
        Bayu adalah orang yang sangat sederhana, dalam dialog Larasati dan Wibi, Wibi menyebutkan “Ngapain susah-susah menghias kamar? Tahu nggak, si Bayu itu sederhana sekali, sewaktu ta’aruf kemarin saja, sendal yang dipakainya hampir putus talinya.”
        Bayu juga seorang laki-laki yang sholeh, dia sangat mencintai keluarganya. Semenjak kuliah pun Bayu aktif mengikuti kegiatan-kegiatan da’wah, rutinitasnya setaip sepertiga malam adalah membangunkan istrinya untuk menjalankan sholat tahajud bersama-sama. Dalam potongan dialognya “Yaang....bangun yuk, sholat tahajud...”
        Bayu adalah tipe laki-laki yang setia. Di dalam novel tersebut diceritakan “Bayu begitu setia.” Selain itu Bayu juga seorang suami yang baik, bertanggung jawab, ulet, juga seorang dai yang tangguh. Hal ini dapat dibuktikan lewat potongan novel “Bayu ayah yang baik, ayah bertanggung jawab dan ulet dalam bisnisnya, da’i yang tangguh.”
        Bayu sangat mencintai Larasati, rasa cintanya dibuktikan dengan sebuah penerimaan penuh sekalipun pada awal-awal pernikahan Larasati tidak dapat melakukan pekerjaan rumah dengan baik, selain itu selama kehamilan Larasati, Bayu begitu telaten merawat dan memperhatikan Larasati. Adapun dalam novel ini dibuktikan dalam potongan cerita “Bayu membelai jiwa Laras yang luka. Berusaha membasuhnya dengan kasih yang teramat sayang. Cinta yang teramat dalam.”
        Bayu memang kurang romantis dan kurang peka. Dalam potongan novel tersebut diceritakan “Bayu memang tidak terbiasa memuji atau menunjukan kekaguman terang-terangan. Karena keluarganya tidak biasa melakukan itu. Ayahnya yang pensiunan polisi ketat mendidiknya dengan disiplin militer. Ibunya sibuk dengan usaha warung makannya yang terus berkembang. Bayu tidak pernah belajar tentang romantisme perempuan.”
        Selain itu Bayu juga seorang pelupa. Pernah suatu waktu Bayu berjanji menjemput Larasati, akan tetapi Bayu lupa hingga Larasati berjalan 7 km jauhnya karena sebelumnya Laras tidak mempunyai uang sepeserpun di dompetnya. Selain itu hal ini dapat dibuktikan pada potongan dialog Bayu bersama Larasati yaitu “Masya Alloh....Ayah janji sama Bunda mengantar menengok ibu ya? Astagfirulloh lupaaaa.....”

3. Raden Tjokrowardoyo
        Raden Tjokrowardoyo, sangat memegang teguh adat leluhurnya bahkan yang berhubungan dengan syirik. Dalam penggalan cerita disebutkan “Sudah lama juga Romo dan Ibumu ini tidak menunjukan pangabekti yang cukup untuk eyang-eyang leluhur kita.”
        Raden Tjokrowardoyo juga dikenal sebagai orang yang kasar, juga pemarah. Hal ini tergambar jelas pada potongan cerita “Romo adalah lelananging jagad. Ia tidak segan menampar, menendang”
        Selain itu Raden Tjokrowardoyo adalah seorang diktator yang tidak suka dibantah, “Romo tidak suka dibantah. Apalagi disela. Sabdanya adalah titah. Sabdanya sabdo pandhito ratu. Inilah bahan diskusi paling menyakitkan bagi Larasati di kantornya. Romo adalah diktator kelas wahid.”
        Dirumahnya Raden Tjokrowardoyo bukanlah suami dan ayah yang baik. Tidah ada hal yang paling besar kecuali apa yang dikatakannya. Selain itu dia mengusir kedua anaknya, dan tidak mengijinkan istrinya menemui mereka. Sehingga istrinya mengalami depresi.

4. Ibu Larasati
        Beliau adalah seorang ibu yang baik yang sangat menyayangi anak-anaknya. Selain itu merupakan tipe wanita Jawa yang sangat penurut. Dalam novel disebutkan “Tapi apakah kekuatan ibu, selama ini beliau hanya mampu sembunyi-sembunyi mendukung kami.”

5. Ustadzah Mutmainah
        Seorang pribadi yang cerdas, lembut, tenang dan seorang daiyah dan istri yang sholehah. Dalam potongan novel dibuktikan “Masih lekat dalam ingatannya ketika semua teori tentang bias gender, tentang patriaki dilibas habis dengan suara bening, lembut, dan luar biasa tenang miliki Ustadzah Mutmainah”.

6. Ustadz Mansyur
        Suami ustadzah Mutmainah. Beliau adalah seorang da’i yang bijaksana, tempat Bayu meminta nasihat. Hal ini dilukiskan dalam potongan novel “Suara ustad Mansyur dalam menunjukan kebijaksanaan, setara dengan suaminya.”

7. Ibu Mertua Larasati
        Seorang perempuan baik hati, tempat Larasati belajar mengurus rumah tangga dan menceritakan keluh kesahnya.

8. Sandra dan Roswati
        Teman-teman Larasati di FCC. Mereka sanagat modern, penganut faham materialisme, gender, dan feminisme. Bagi mereka pernikahan adalah sebuah neraka. Terlebih Roswati yang memiliki orientasi seksual yang bebas.

9. Wibi
        Kakak kandung Larasati, sangat menyayangi Larasati terbukti ketika Wibi membantu Larasati kabur dari upacara-upacara adat yang berbau syirik. Selain itu Wibi pun bersedia membantu Laras mempersiapkan persiapan pernikahannya.

10. Fatimah, Riffat, Rozan dan Rahma
        Anak-anak lucu buah cinta Larasati dan Bayu yang senantiasa menghiasi hari-hari Laras dan Bayu.

C. Latar
        Didalam novel ini terdapat beberapa latar tempat yaitu di Jakarta tempat Laras dan keluarganya tinggal saat ini, dalam potongan novel disebutkan “Mungkin karena romo dan ibunya lama tinggal di Jakarta.” Tempat yang lain yaitu kota Solo, tempat tinggal Laras sewaktu masih kecil dulu. “Kenangan masa kecil saat mereka masih tinggal di Solo menyeruak seperti film dokumenter di matanya.” Terdapat pula latar ketika Larasati di pantai Carita. Potongan novelnya “Larasati berdiri di tepi pantai carita.” Selain itu masih banyak pula latar pada novel ini, yaitu pantai Anyer ketika Larasati dan Bayu merayakan ulang tahun pernikahannya yang ke-6, rumah Larasati, rumah Romonya, rumah sakit saat Larasati melahirkan, rumah ustadz Mansyur saat Larasati berkenalan dengan Bayu dan lain-lain.
        Adapun mengenai latar waktu di novel tersebut pada halaman 25 dan 103 dituliskan bahwa kejadian tersebut terjadi pada bulan Februari 1993 sampai Februari 1999.
        Sedangkan mengenai latar suasana penulis menggambarkannya secara apik, seperti waktu pertemuan Larasati dan Bayu. Kebersamaan mereka yang menyiratkan satu sisi dari kehadiran cinta. Selain itu pula terdapat suasana-suasana menegangkan, terutama ketika romonya murka, juga saat ibunya Laras mengalami depresi. Terdapat pula potongan-potongan kesedihan saat pengusiran dan penolakan ayah Laras. Suasana syahdu, ketika Alloh mengaruniai Bayu dan Laras putra, juga potongan-potongan cerita tentang ketaatan mereka dalam beribadah, sungguh membuat sebuah rangkaian suasana yang mampu menguatkan sebuah cinta.

D. Alur
        Mengenai alur yang terdapat dalam novel ini yaitu alur campuran. Novel ini memang secara garis besar menceritakan kehidupan Larasati yang terus bergerak maju. Akan tetapi diantara kisa-kisah tersebut ada beberapa bagian yang menunjukan alur mundur. Misalnya ketika Larasati mengingat masa kecilnya dulu bersama Wibi. Potongan cerita tersebut yaitu “Kenangan masa kecil saat mereka masih tinggal di Solo menyeruak seperti film dokumenter di matanya. Ia dan mas Wibi adalah kucing dan tikus yang selalu membuat onar. Masih terngiang di telinganya ketika ia menjerit marah karena mas Wibi memaksanya pipis saat bermain jamuran, karena jamurnya jamur kendhil borot.”

E. Sudut Pandang
        Sudut pandang pada novel ini adalah sudut pandang orang ketiga. Hal ini terbukti dari disebutkannya nama-nama tokoh secara langsung oleh pengarang.

F. Gaya Bahasa
        Dalam novel ini yaga bahasa yang digunakan sangat mengesankan bahwa novel ini memang ditulis oleh seorang perempuan. Bahasanya begitu rapih, santun sekalipun menceritakan tentang kehidupan suami istri, hampir disetiap bagiannya menggunakan bahasa yang indah dan terkesan puitis, apalagi ketika menggambarkan suasana yang memperkuat setiap kejadian dalam novel tersebut. Sekalipun demikian bahasanya masih tetap mudah dicerna, tidak berbelit-belit dan cukup komunikatif dalam mennyampaikan tema dan ide-ide sang penulis.
        Adapun contoh-contoh gaya bahasa yang terdapat dalam novel ini adalah:
1. Asosiasi
  • Senyumnya mengembang seperti mekarnya bunga Wijaya Kusuma.
  • Desakan kekecewaan, amarah seperti badai yang menghantam dadanya.
  • Mulutnya terkatup seumpama almari terkunci.
  • Larasati menelan seluruh kekecewaanya. Pahit seperti jamu uyup-uyup langganannya.
  • Wajah Larasati hari ini seperti kerupuk di celupkan pada sup panas.
2. Personifikasi
  • Lalu mahluk cair bernama laut itu menelan kerikil dengan lahap.
  • Matahari mulai terik memanggang Jakarta.
  • Gelap menyerbu kepala Laras
  • Dingin masih menyelimuti bumi, sebab hujan baru saja usai merajam bumi.
  • Bulir-bulir air mata berloncatan dari sudut matanya.
3. Metonimia
  • Pengemudi Honda City itu seorang laki-laki seusia suaminya.
  • Senyum Laras hanya segaris ketika derum Civic Genio tahun terbaru yang dikendarai Sumiarti menginggalkan debu yang mengepul.
  • Vespa bututnya sudah berganti menjadi Toyota Kijang yang cukup lapang untuk memuat mereka berenam.
4. Hiperbola
  • Larasati bisa merasakan ujung jemari wanita itu terbenam dalam-dalam di kulit tangannya.
  • Suara bayi melengking, memecah pagi.
  • Laras mengangguk dan melangkah dengan seluruh kaki tertanam dalam-dalam di bumi.
  • Larasati mengumpulkan segenap lelahnya lalu mencabut dan meremasnya seperti meremas kertas tulisannya yang tak selesai.
  • Lisna menerbangkan mobilnya membawa cemas tak terhingga.
5. Paraleslisme
Surga bagiku adalah  seperti mengenakan matahari,
Diseputar kepala bagai kalung,
Surga bagiku adalah apabila orang lain merasa bahwa aku menjalin hubungan
dengan bintang-bintang
dengan bulan-bulan, yang akrab maupun tidak,
dengan langit yang biru
atau berwarna yang lain.
Surga adalah tempat dimana memeluk itu berarti membesarkan hati dan membuai,
Surga adalah tempat dimana pelukan merupakan pembukaan yang lembut untuk diri sendiri dan bukan untuk memiliki.
Surga adalah tempat dimana membuai dan membuka diri tidak ada hubungannya dengan
kekuasaan
Ketakutan
kerentanan dan kepiluan

6. Metafora
  • Atau sholat malam lengkap sebelas rakaat, hingga puas bercengkrama dengan sang perkasa
G. Amanat
        Di dalam novel ini terdapat begitu banyak amanat yang ingin disampaikan, diantaranya:
  1. Taat dan berbaktilah kepada orang tua. Akan tetapi jika orang tua mu menyuruhmu berbuat hal yang melanggar ajaran agama, maka janganlah engkau ikuti keinginan mereka.
  2. Jagalah komunikasi yang baik dengan siapapun.
  3. Bijaksanalah dalam menghadapai segala persoalan.
  4. Niatkanlah setiap langkah kita dengan mengharap keridhoan Alloh SWT, lalu jalanilah dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.
  5. Jadilah istri, suami, ibu dan ayah yang baik.
  6. Sebagai apapun peran kita dalam kehidupan, bertanggung jawablah.
  7. Cintailah seseorang itu karena Alloh.
  8. Mencintai berarti membiarkan orang yang kita cintai berkembang jauh sejauh batas kemampuan dan potensi yang dimilikinya.
  9. Jadilah pribadi yang pemaaf.
  10. Cintailah orang lain sebagaimana kita mencintai diri sendiri.
  11. Jadilah pribadi yang ulet.
  12. Keberhasilan dan kesuksesan tidak didapat satu hari, akan tetapi melalui kerja keras dan cucuran keringat.
  13. Berusahalah untuk senantiasa mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas diri.
  14. Mencintai berarti memahami dan memberi.
  15. Jagalah keseimbangan antara usaha-usaha untuk kehidupan dunia juga akhirat kita.